Rabu, 18 April 2012

Perkembangan sistem pemerintahan daerah dari masa ke masa

LATAR BELAKANG

Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah Provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah Kabupaten dan daerah Kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Kita semua mengetahui bahwa realitas yang terjadi pada saat ini dipengaruhi oleh bagaimana cara pandang kita melihat sejarah perkembangan dalam sistem pemerintahan daerah itu sendiri.Karena pada saat ini,yag mana kita menganut sistem desentralisasi ,diperlukan pengetahuan yang cukup untuk membedakan,bagian mana yang termasuk urusan Politik lokal dan urusan Politik Pusat.

Maka dari itu dalam resume ini saya akan paparkan bagaimana perkembangan sistem pemerintahan Daerah dalam beberapa jaman dan rejim yang berkembang didalamnya

PEMBAHASAN

A. MASA PENJAJAHAN

Zaman penjajahan Belanda

Pemerintah Belanda menerapkan sistem Desentralisasi dalam hirarki kekuasaannya.Hal ini mereka perbuat demi mencapai tatanan pemerintahan yang efisien ,yang mana dahulunya di Indonesia pusat pemerintahan berada di daerah Batavia .Walaupun dibalik semua itu,ada pandangan bahwa Politik desentralisasi -- Decentralisatiewet 1903 dan Wet op de Bestuurshervorming (Stb 1922/216) -- hanya sekedar meredakan tuntutan, baik internasional maupun nasional, sebab penyerahan urusan hanya mencakup hal--hal yang tidak penting dan otonomi sangat sempit. (Harsono, 1992 : 59-60).Yang mana dapat kita perhatikan ,dalam penerapannya masih ada ketimpangan,dimana pembuatan keputusan masih dikontrol oleh pusat dan sangat ketat dibawah pengawasan seorang Gubernur Jendral.Dewan daerah tidak diberi kekuasaan untuk menentukan pimpinan daerah setempat. Misalnya sebagaimana diterangkan oleh Harsono, Provinciale Raad (Dewan Propinsi) diketuai Gubernur, dan hanya berhak menentukan Badan Pemerintah Harian (College van Gedeputeerden) bila dipandang perlu. Walaupun tugas lembaga Provinciale Raad dan Gubernur dipisahkan, tetapi kedua lembaga ini melakanakan tugas pembantuan. Gubernur sebagai aparat daerah melaksanakan tugas rumah tangga daerah dalam porsi yang relatif kecil (1992 : 60-61).

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda tentang pemrintah lokal tersebut tidak lepas dari tujuan utama penjajahan itu sendiri, yakni menguasai wilayah jajahan dengan maksud menguras segala sumber daya yang ada. Oleh sebab itu berbagai kebijakan yang dibuat tidak lebih hanya sekedar instrumen kekuasaan pemerintahan penjajah Belanda. Demikian pun politik desentralisasi yang dilanbsir tahun 1903, ketika Pemerintah Belanda mengumumkan undang-undang Desentralisasi (Desentralisatie Wet). Tujuan di tetapkannya Undang-Undang Desentralisatie Wet tersebut tidak lepas dari tujuan utama penjajahan itu sendiri, yakni menguasai wilayah jajahan dengan maksud menguras segala sumber daya yang ada. Oleh sebab itu politik desentralisasi tidak lebih hanya sekedar instrumen untuk menciptakan efisiensi administrasi pemerintahan penjajah Belanda. Upaya mengembangkan otonomi daerah, dibarengi dengan berbagai kebijakan yang bertujuan memanipulasi perilaku kepeminpinan lokal sehingga menjadi instrumen kekuasaan yang sangat efektif dalam poemerintahan yang eksploitatif. Hal itu nampak pada kebijakan trerhadap para bupati. Dengan demikian pemerintah Hindia Belanda telah menempatkan para pemimpin lokal sebagai pemeras bagi rakyatnya. Dan ini merupakan warisan yang sangat merugikan bagi pemerintahan daerah di Indonesia. Ringkasnya dapat dikatakan bahwa politik desentralisasi yang dijalankan di Hindia Belanda lebnih bersifat dekonsentrasi. Hal itu disesuaikan dengan maksud untuk mempertahankan kekuasaan Belanda di Indonesia.

Zaman Penjajahan Inggris

Dalam pimpinan Tomas Stanfor Raffles,terdapat nilai kebaikan dibandingkan pihak Belanda yang otoriter,yang mana kekuasaan Raffles cenderung juga melihat kondisi dan perspektif masyarakat.Hal ini bisa kami lihat dari proses kekuasaannya yang membatasi kekuasaan Tuan tanah atau yang disebut kaum Feodal.dan masyarakat dipimpin oleh keresidenan,yang lebih paham dan mengerti persoalan masyarakat. Maksud itu diwujudkan dengan pembentukan pemerintahan Karesidenan yang diberi kekuasaan pemerintahan, peradilan dan penerimaan penghasilan negara. Dengan demikian rakyat berhubungan langsung dengan pemerintah karesidenan, dan menjauhkan hubungan langsung dengan para Bupati.

Maka dari itu bisa kita cermati bahwa kekuasaan rafles memandang penting arti dari Bupati,walaupun beberapa kebijakan dibidang pelayanan masih bersifat sentralistis..

Jaman Pendudukan Jepang

Kebijakan Pemerintahan Daerah. Pada waktu bala tentara Jepang berkuasa, Pemerintah Jajahan Jepang melaksanakan pemerintahan militer di wilayah Hindia Belanda berdasar UU No. 1 tahun 1942. Pemeritahan daerah diatur dengan Osamuserei No. 27 tahun 1942 , yang menetapkan penghapusan dewan dewan daerah.

Dengan penghapusan dewan-dewan daerah ini, terbentuklah sistem pemerintahan tunggal di daerah-daerah otonom. Kepala-kepala daerah Syuutyookan mempunyai kekuasaan yang sangat besar untuk melaksanakan tugas-tugas militer sehari-hari di bawah komando Gunseikan. Mereka mengatur segala urusan daerah meliputi pemerintahan, kemiliteran, kepolisian, dan sebagainya (Harsono, 1992 : 70). Singkatnya fungsi pemerintahan hanya sebatas regulasi, dan berbagai kebijakan, kelembagaan dan kepemimpinan pemerintahan bersifat militeristik dan otoriter yang jauh dari nilai-nilai demokratis.

B. MASA AWAL KEMERDEKAAN (DEMOKRASI LIBERAL)

Berdasarkan pasal 18 UUD 1945. Menurut UUD 1945 Negara Indonesia merupakan “eenheidsstaat” (negara kesatuan), sehingga tidak akan mempunyai daerah yang bersifat “staat” juga. Menurut pasal 18 UUD 1945 wilayah Indonesia dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat “autonoom” (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang.

Berdasar undang-undang ini pembentukan daerah disusun secara hierarkhis, dari atas masing-masing provinsi, karesidenan dan kabupaten/kota (Harsono, 1992 : 85). UU ini tidak mengatur karesidenan dan daerah istimewa. Pemerintah Karesidenan baru diatur dua tahun kemudian dengan PP No. 8 Tahun 1947. Pemerintah daerah terdiri atas BPRD dan Badan Eksekutif, keduanya dipimpin oleh Kepala Daerah. Wewenang BPRD meliputi mengatur kepentingan daerah (otonomi), melaksanakan peraturan perintah atasan (medebewind) dan mengatur suatu hal -- dengan pengesahan pemerintah atasan -- sesuai ketentuan perundangan umum. Sementara kepala daerah mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai perangkat daerah sekaligus perangkat pemerintah pusat.

Daerah-daerah yang dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu daerah otonom (biasa) dan daerah Istimewa. Daerah dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu Propinsi, Kabupaten/Kota Besar dan Desa/Kota Kecil. Masing-masing daerah diberi kekuasaan mengelola sumber-sumber keuangannya sendiri.

Pemerintah daerah terdiri atas DPRD dan DPD, yang masing-masing mempunyai ketua. Ketua DPRD dipilih oleh dan dari para anggota DPRD sedangkan ketua DPD adalah Kepala daerah. Jadi kini KDH tidak merangkap kedua jabatan itu seperti ditentukan dalam UU No. 1 /1945. Selain itu Kepala Daerah dan DPD, baik bersama-sama atau masing-masing bertanggung jawab kepada DPRD, dan wajib memberi keterangan-keterangan yag diminta DPRD. Kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, Kepala Daerah Provinsi oleh Presiden, Kepala Daerah Kabupaten/Kota oleh Menagri, Kepala Daerah Desa oleh Kepala Daerah Provinsi. Kepala Daerah sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai fungsi mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD dan sebagai Ketua dan anggota DPD yang merupakan organ Pemerintah Daerah.

Dengan ketentuan adanya badan legislatif daerah itu, daerah otonom dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti daerah tersebut mempunyai kekuasaan politik. Namun demikian dapat dikatakan desentralisasi yang dianut lebih bermakna dekonsentrasi dari pada devolusi. Terutama bila dilihat dari kedudukan kepala badan legislatif yag dirangkap oleh kepala daerah. Sementara kepala daerah mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai perangkat daerah sekaligus perangkat pemerintah pusat. Dualisme fungsi kepala daerah berarti pula bobot pelaksanaan fungsi lebih kepada sebagai perangkat pemerintah pusat. Perwujudannya adalah pertanggung jawaban kepala lebih kepada pemerintah pusat dari pada kepada DPRD. Susunan daerah yang bersifat hierarkhis mempunyai implikasi terhadap pengawasan yang kuat terhadap berbagai tingkat daerah. Dengan demikian dalam berbagai kebijakan pemerintahan daerah nuansa sentraliasi masih sangat terasa.

Jika dilihat dari segi pelaksanaan fungsi pemerintahan daerah, sebenarnya belum ada batasan yang tegas antara pelaksanaan otonomi dengan medebewind, sehingga daerah mengatur urusan-urusan mengenai keamanan dan ketertiban. Disamping tugas mengatur (otonomi) daerah-daerah juga mengurus hal-hal yang hubungan dengan perjuangan kemerdekaan beserta akibat-akibatnya, seperti mengadakan Fonds Kemerdekaan, menyelenggarakan pemindahan pengungsi dsb (The Liang Gie, 1993: 54-55). Keadaan demikian memang tidak terlepas dari suasana politik dalam negeri Indonesia masa itu, sehingga fungsi pemerintahan daerah dilaksanakan berkaitan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan dalam rangka “nation building”. Ditambah dengan permasalahan yang kompleks yang menuntut pengaturan yang sangat banyak, tidak mungkin merombak secara total berbagai peraturan yang telah ada sebelumnya. Dengan pemahaman demikian kebijakan desentralisasi masih belum bergeser terlalu jauh dari pelaksanaan desentralisasi pemerintahan Hindia Belanda, yakni penekanan pada desentralisasi administrasi bukan desentralisasi politik. Sehingga pada masa demokrasi liberal ini, dalam pelaksanaan pemerintahan pemerinrahan realitas pengaturan formal itu sangat terasa lebih sentralistis daripada desentralistis.

C. MASA DIKTATORIAL

Berdasar peraturan ini terdapat dualisme kedudukan Kepala Daerah, yakni sebagai alat pemerintah pusat sekaligus sebagai alat pemerintah daerah. Kecuali itu Kepala Daerah mempuyai kedudukan sentral yang sangat kuat (dalam The Liang Gie, 1994 : 215). Karena ia sekaligus memimpin DPRD sehingga ia tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan kepada Presiden. Kepala daerah dan DPRD lebih berperan sebagai perangkat pemerintah pusat. Konsekuensinya adalah lembaga pemerintah dan kepemimpinan daerah berorientasi pada efektifitas pengaturan pusat. Dengan demikian UU ini tidak menganut prinsip pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Desentralisasi yang dilaksanakan lebih berbobot pada dekonsentrasi. Akibat selanjutnya adalah bahwa kemandirian daerah belum dapat terbina secara baik.

Pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1959 ini desentralisasi politik dirasakan masih sangat riskan, karena di berbagai daerah di Indonesia berkembang kecenderungan pembangkangan terhadap pusat terutama akibat ketidak puasan atas distribusi sumber daya yang tidak seimbang. Kecenderungan itu mengambil momentum ketika diberlakukan demokrasi parlementer yang sangat liberalistik. Dekrit presiden 5 Juli 1959 merupakan upaya untuk menjawab keadaan tersebut.

Fungsi pemerintahan daerah adalah untuk turut menciptakan pemerintahan yang stabil; pengawasan jalannya pemerintahan di daerah secara efektif dan efisien; memelihara kepentingan, keamanan dan ketertiban umum serta memajukan kesejahteraan rakyat. Selain itu untuk membentuk pemerintahan yang mencerminkan kehendak rakyat berdasar prinsip kemandirian politik, ekonomi dan kebudayaan.

Adanya sistem pengawasan dan pengendalian ketat, yang ditandai dengan susunan daerah yang bertingkat dan fungsi kepada daerah sebagai alat pemerintah pusat mengambarkan tidak adanya pembagian kekuasaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa politik desentalisasi masih sangat bersifat dekonsentratif.

D. MASA TRANSISI (TAHUN 1999 - Sekarang)

Hubungan Kekuasaan Antar Pemerintah Daerah. Propinsi sebagai Daerah Otonom sekaligus daerah administratif. Konsekuensinya Propinsi melaksanakan kewenangan pemerintah yang didelegasikan pada Gubernur dan propinsi bukan merupakan pemerintah atasan Daerah Kabupaten dan Kota, artinya tidak ada hubungan hirarki. Dalam praktek terdapat hubungan koordinasi, kerjasama dan/atau kemitraan dengan Daerah Kabupaten/Kota masing-masing sebagai daerah otonom. Sebagai wilayah administratif, Gubernur selaku wakil pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi, pengawasan represif dan preventif serta tugas-tugas pembinaan kepada pemerintah Propinsi perlu dilimpahkan wewenang tertentu, diantaranya wewenang pengambilan keputusan. Sehingga masalah-masalah dapat diselesaikan dengan cepat oleh Gubernur.

Penyerahan urusan menggunakan sistem residu, dengan asumsi sebanyak mungkin urusan diserahkan pada daerah Kabupaten/Kota. Kewenangan yang tidak dapat dilaksanakan Kabupaten/Kota ditangani pemerintah Propinsi. Bila propinsi juga tidak mampu urusan itu ditangani pemerintah Pusat.

Menurut Undang-Undang ini Pemerintah Daerah berfungsi mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut parakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pemisahan DPRD dengan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggung-jawaban Pemerintah Daerah pada rakyat.

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari paparan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa ,dalam perkembangannya sistem pemerintahan daerah di Indonesia bergantung pada masa kolonial oleh Belanda,yang mengekang sekali proses kebijakan dan sangat sentralistis

Kemudian lain halnya ketika pemerintahan Rafless berkuasa dengan menghapuskan bahkan mengurangi proses feodalistis di negara ini.Kemudian Indonesia juga mengenyam betapa pahitnya ketika jaman Jepang yang tak berbeda bahkan lebih buruk,yang mana pemerntah Jepang memperketat dan mempersempit proses pemerintahan daerah.

Dan ketika Masa Awal kemerdekaan,masa demokrasi liberal dalam pasal pasal terdapat perbenturan dan tafsir yang berbeda soal pemerintahan Daerah ini.Hingga akhirnya pada masa transisi dikeluarkannya dan dikembangkannya ide desentralisasi menyebabkan beragam spekulasi sebagai dampak kebijakan yang sudah dipecah dan diberika tangggung jawab kepada pemerintahan daerah

Dalam pola ini dapat kita lihat bahwa setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah. Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati dan untuk kota adalah walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. Kepala dan wakil kepala daerah memiliki tugas, wewenang dan kewajiban serta larangan. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.

Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi yang bersangkutan, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota.Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana dimaksud, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden

Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor kemampuan keuangan; kebutuhan daerah; cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas; luas wilayah kerja dan kondisi geografis; jumlah dan kepadatan penduduk; potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani; sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.

Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan. Susunan organisasi perangkat daerah ditetapkan dalam Perda dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu dan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Kepala dinas daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah. Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah. Kepala badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah tersebut bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah.

Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kecamatan dipimpin oleh camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota.

2. Saran

Kita perlu mengkaji lebih dalam bagaimana efektifitas dan mekanisme sistem desentralisasi yang kini terus mengalami dinamika di berbagai bagian Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar