Senin, 06 Mei 2013

BASARNAS

Sejarah SARNasional
Sejarah SAR Nasional

Lahirnya organisasi SAR di Indonesia yang saat ini bernama BASARNAS diawali dengan adanya penyebutan "Black Area" bagi suatu negara yang tidak memiliki organisasi SAR.
Dengan berbekal kemerdekaan, maka tahun 1950 Indonesia masuk menjadi anggota organisasi penerbangan internasional ICAO (International Civil Aviation Organization). Sejak saat itu Indonesia diharapkan mampu menangani musibah penerbangan dan pelayaran yang terjadi di Indonesia.

Sebagai konsekwensi logis atas masuknya Indonesia menjadi anggota ICAO tersebut, maka pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1955 tentang Penetapan Dewan Penerbangan untuk membentuk panitia SAR. Panitia teknis mempunyai tugas pokok untuk membentuk Badan Gabungan SAR, menentukan pusat-pusat regional serta anggaran pembiayaan dan materil.
Sebagai negara yang merdeka, tahun 1959 Indonesia menjadi anggota International Maritime Organization (IMO). Dengan masuknya Indonesia sebagai anggota ICAO dan IMO tersebut, tugas dan tanggung jawab SAR semakin mendapat perhatian. Sebagai negara yang besar dan dengan semangat gotong royong yang tinggi, bangsa Indonesia ingin mewujudkan harapan dunia international yaitu mampu menangani musibah penerbangan dan pelayaran.
Dari pengalaman-pengalaman tersebut diatas, maka timbul pemikiran bahwa perlu diadakan suatu organisasi SAR Nasional yang mengkoordinir segala kegiatan-kegiatan SAR dibawah satu komando. Untuk mengantisipasi tugas-tugas SAR tersebut, maka pada tahun 1968 ditetapkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor T.20/I/2-4 mengenai ditetapkannya Tim SAR Lokal Jakarta yang pembentukannya diserahkan kepada Direktorat Perhubungan Udara. Tim inilah yang akhirnya menjadi embrio dari organisasi SAR Nasional di Indonesia yang dibentuk kemudian.

Pada tahun 1968 juga, terdapat proyek South East Asia Coordinating Committee on Transport and Communications, yang mana Indonesia merupakan proyek payung (Umbrella Project) untuk negara-negara Asia Tenggara. Proyek tersebut ditangani oleh US Coast Guard (Badan SAR Amerika), guna mendapatkan data yang diperlukan untuk rencana pengembangan dan penyempurnaan organisasi SAR di Indonesia.
Kesimpulan dari tim tersebut adalah :
  1. Perlu kesepakatan antara departemen-departemen yang memiliki fasilitas dan peralatan;
  2. Harus ada hubungan yang cepat dan tepat antara pusat-pusat koordinasi dengan pusat fasilitas SAR;
  3. Pengawasan lalu lintas penerbangan dan pelayaran perlu diberi tambahan pendidikan SAR;
  4. Bantuan radio navigasi yang penting diharapkan untuk pelayaran secara terus menerus.
Dalam kegiatan survey tersebut, tim US Coast Guard didampingi pejabat - pejabat sipil dan militer dari Indonesia, tim dari Indonesia membuat kesimpulan bahwa :
  1. Instansi pemerintah baik sipil maupun militer sudah mempunyai unsur yang dapat membantu kegiatan SAR, namun diperlukan suatu wadah untuk menghimpun unsur-unsur tersebut dalam suatu sistem SAR yang baik. Instansi-instansi berpotensi tersebut juga sudah mempunyai perangkat dan jaringan komunikasi yang memadai untuk kegiatan SAR, namun diperlukan pengaturan pemanfaatan jaringan tersebut.
  2. Personil dari instansi berpotensi SAR pada umumnya belum memiliki kemampuan dan keterampilan SAR yang khusus, sehingga perlu pembinaan dan latihan.
Peralatan milik instansi berpotensi SAR tersebut bukan untuk keperluan SAR, walaupun dapat digunakan dalam keadaan darurat, namun diperlukan standardisasi peralatan.
Hasil survey akhirnya dituangkan pada "Preliminary Recommendation" yang berisi saran-saran yang perlu ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk mewujudkan suatu organisasi SAR di Indonesia.

PERKEMBANGAN ORGANISASI BASARNAS
Berdasarkan hasil survey tersebut ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 1972 tanggal 28 Februari 1972 tentang pembentukan Badan SAR Indonesia (BASARI). Adapun susunan organisasi BASARI terdiri dari :
    1. Unsur Pimpinan
    2. Pusat SAR Nasional (Pusarnas)
    3. Pusat-pusat Koordinasi Rescue (PKR)
    4. Sub-sub Koordinasi Rescue (SKR)
    5. Unsur-unsur SAR
Pusarnas merupakan unit Basari yang bertanggungjawab sebagai pelaksana operasional kegiatan SAR di Indonesia. Walaupun dengan personil dan peralatan yang terbatas, kegiatan penanganan musibah penerbangan dan pelayaran telah dilaksanakan dengan hasil yang cukup memuaskan, antara lain Boeing 727-PANAM tahun 1974 di Bali dan operasi pesawat Twinotter di Sulawesi yang dikenal dengan operasi Tinombala.

Secara perlahan Pusarnas terus berkembang dibawah pimpinan (alm) Marsma S. Dono Indarto. Dalam rangka pengembangan ini pada tahun 1975 Pusarnas resmi menjadi anggota NASAR (National Association of SAR) yang bermarkas di Amerika, sehingga Pusarnas secara resmi telah terlibat dalam kegiatan SAR secara internasional. Tahun berikutnya Pusarnas turut serta dalam kelompok kerja yang melakukan penelitian tentang penggunaan satelit untuk kepentingan kemanusiaan (Working Group On Satelitte Aided SAR) dari International Aeronautical Federation.

Bersamaan dengan pengembangan Pusarnas tersebut, dirintis kerjasama dengan negara-negara tetangga yaitu Singapura, Malaysia, dan Australia.

Untuk lebih mengefektifkan kegiatan SAR, maka pada tahun 1978 Menteri Perhubungan selaku kuasa Ketua Basari mengeluarkan Keputusan Nomor 5/K.104/Pb-78 tentang penunjukkan Kepala Pusarnas sebagai Ketua Basari pada kegiatan operasi SAR di lapangan. Sedangkan untuk penanganan SAR di daerah dikeluarkan Instruksi Menteri Perhubungan IM 4/KP/Phb-78 untuk membentuk Satuan Tugas SAR di KKR (Kantor Koordinasi Rescue).

Untuk efisiensi pelaksanaan tugas SAR di Indonesia, pada tahun 1979 melalui Keputusan Presiden Nomor 47 tahun 1979, Pusarnas yang semula berada dibawah Basari, dimasukkan kedalam struktur organisasi Departemen Perhubungan dan namanya diubah menjadi Badan SAR Nasional (BASARNAS).

Dengan diubahnya Pusarnas menjadi Basarnas, Kepala Pusarnas yang semula esselon II menjadi Kepala Basarnas esselon I. Demikian juga struktur organisasinya disempurnakan dan Kabasarnas membawahi 3 pejabat esselon II. Dalam perkembangannya keluar Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 80 tahun 1998 tentang Organisasi Tata Kerja Basarnas, yang salah satu isinya mengenai pejabat esselon II di Basarnas, yaitu :
  1. Sekretaris Badan;
  2. Kepala Pusat Bina Operasi;
  3. Kepala Pusat Bina Potensi;
Adanya organisasi SAR akan memberikan rasa aman dalam penerbangan dan pelayaran. Sejalan dengan perkembangan moda transportasi serta kemajuan IPTEK di bidang transportasi, maka mobilitas manusia dan barang dari suatu tempat ke tempat lain dalam lingkup nasional maupun internasional mempunyai resiko yang tinggi terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan yang menimpa pengguna jasa transportasi darat, laut dan udara. Penerbangan dan pelayaran internasional yang melintasi wilayah Indonesia membutuhkan jaminan tersedianya penyelenggaraan SAR apabila mengalami musibah di wilayah Indonesia. Tanpa adanya hal itu maka Indonesia akan dikategorikan sebagai "black area" untuk penerbangan dan pelayaran. Status "black area" dapat berpengaruh negatif dalam hubungan ekonomi dan politik Indonesia secara internasional. Terkait dengan maslah tersebut, Badan SAR Nasional sebagai instansi resmi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang SAR ikut mempunyai andil yang besar dalam menjaga citra Indonesia sebagai daerah yang aman untuk penerbangan dan pelayaran. Dengan citra yang baik tersebut diharapkan arus transportasi akan dapat bejalan dengan lancar dan pada gilirannya akan meningkatkan perekonomian nasional Indonesia.

Dengan meningkatnya tuntutan masyarakat mengenai pelayanan jasa SAR dan adanya perubahan situasi dan kondisi Indonesia serta untuk terus mengikuti perkembangan IPTEK, maka organisasi SAR di Indonesia terus mengalami penyesuaian dari waktu ke waktu. Organisasi SAR di Indonesia saat ini diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 43 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan dan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 79 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor SAR. Dalam rangka terus meningkatkan pelayanan SAR kepada masyarakat, maka pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2006 tentang Pencarian dan Pertolongan yang mengatur bahwa Pelaksanaan SAR (yang meliputi usaha dan kegiatan mencari, menolong, dan menyelamatkan jiwa manusia yang hilang atau menghadapi bahaya dalam musibah pelayaran, dan/atau penerbangan, atau bencana atau musibah lainnya) dikoordinasikan oleh Basarnas yang berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Menindak lanjuti Peraturan Pemerintah tsb, Basarnas saat ini sedang berusaha mengembangkan organisasinya sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagai upaya menyelenggarakan pelaksanaan SAR yang efektif, efisien, cepat, handal, dan aman.

Berdasarkan kajian dan analisa kelembagaan, sesuai dengan perkembangan dan tuntutan tugas yang lebih besar, pada Tahun 2007 dilakukan perubahan Kelembagaan dan Organisasi BASARNAS menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), yang diatur secara resmi dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2007 tentang Badan SAR Nasional. Sebagai LPND, BASARNAS berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Pada Perkembangannya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2009, sebutan LPND berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), sehingga BASARNAS pun berubah menjadi BASARNAS (LPNK).

Sebagai LPNK, BASARNAS secara bertahap melepaskan diri dari struktur Kementerian Perhubungan. Namun hingga Tahun 2009, pembinaan administratif dan teknis pelaporan masih melalui Kementerian Perhubungan. Selanjutnya per Tahun 2007 BASARNAS (LPNK) akan langsung bertanggung jawab ke Presiden melalui  Sekretariat Negara (Setneg).
 

( Sumber : Website basarnas versi 1, www.basarnas.go.id )

Arti Lambang Badan SAR Nasional
     
     lambang Basarnas

     Keterangan :
  1. Delapan  penjuru mata angin dengan warna merah putih mengandung arti dan makna bahwa Badan SAR Nasional dalam mengemban tugas di bidang kemanusiaan senantiasa menitikberatkan pada kecepatan dan ketepatan serta dilaksanakan dengan penuh ketulusan (warna putih) dan keberanian (warna merah).
  2. Awan, gunung dan 5 ombak di laut mengandung arti dan makna bahwa dalam menjalankan tugasnya Badan SAR Nasional melingkupi segala medan tugas; Awan menggambarkan lingkup medan tugas udara, gunung menggambarkan lingkup medan tugas darat, ombak di laut menggambarkan lingkup medan tugas di air yang dilandasi dengan kelima sila dalam Pancasila.
  3. Pita bertuliskan ”INDONESIA” mempunyai arti bahwa Badan SAR Nasional merupakan lembaga pemerintah Indonesia yang melaksanakan tugas pencarian dan pertolongan.







Arti Logo Badan SAR Nasional




   logo basarnas

     Keterangan :
  1. DASAR. Warna kuning hijau adalah warna "pare anom" yang menurut sejarah dan tradisi bangsa Indonesia Menandakan kesuburan Tanah Air kita yang diperuntukkan kesejahteraan rakyat. Wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke terdiri dari 13.677 pulau/ kepulauan pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra, dengan mengandung kekayaan bumi dan air.
  2. BINTANG. Jumlah bintang sebanyak 5 buah menggambarkan bahwa Pancasila merupakan falsafah Negara Republik Indonesia dan sebagai pandangan hidup dari bangsa kita, yang mana pada sila kedua ialah "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab" merupakan ciri khas tugas SAR Nasional yang selalu berkaitan dengan keempat sila lainnya.
  3. SAR NASIONAL. Tulisan SAR Nasional dengan warna merah sebagai ketegasan dalam melaksanakan tugas kemanusiaan yang meliputi seluruh wilayah dengan tekad para petugasnya untuk bertindak dengan cepat, tepat dan berani setiap saat diperlukan.
  4. AVIGNAM JAGAT SAMAGRAM. Namun demikian, sila pertama dari Pancasila sebagai suatu keyakinan dari setiap petugas SAR bahwa segala tugas ini diridhoi Tuhan Yang Maha Esa dengan tetap berdoa "Semoga Selamatlah Alam Semesta".
     
     
VISI DAN MISI BASARNAS
 
" V I S I "
" Berhasilnya pelaksanaan operasi SAR pada setiap waktu dan tempat dengan cepat, handal, dan aman "


" M I S I "
" Menyelenggarakan kegiatan operasi SAR yang efektif dan efisien melalui upaya tindak awal yang maksimal serta pengerahan potensi SAR yang didukung oleh sumber daya manusia yang profesional, fasilitas SAR yang memadai, dan prosedur kerja yang mantap dalam rangka mewujudkan Visi Badan SAR Nasional "


 
TUGAS DAN FUNGSI

A. TUGAS POKOK
Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.43Tahun 2005 Tentang Organisasi dan tata kerja Departemen Perhubungan, Badan SAR Nasional mempunyai tugas pokok melaksanakan pembinaan, pengkoordinasian dan pengendalian potensi Search and Rescue (SAR) dalam kegiatan SAR terhadap orang dan material yang hilang atau dikhawatirkan hilang, atau menghadapi bahaya dalam pelayaran dan atau penerbangan, serta memberikan bantuan SAR dalam penanggulangan bencana dan musibah lainnya sesuai dengan peraturan SAR Nasional dan Internasional.

B. FUNGSI
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut di atas, Badan SAR Nasional menyelenggarakan fungsi :
  1. Perumusan kebijakan teknis di bidang pembinaan potensi SAR dan pembinaan operasi SAR;
  2. Pelaksanaan program pembinaan potensi SAR dan operasi SAR;
  3. Pelaksanaan tindak awal;
  4. Pemberian bantuan SAR dalam bencana dan musibah lainnya;
  5. Koordinasi dan pengendalian operasi SAR alas potensi SAR yang dimiliki oleh instansi dan organisasi lain;
  6. Pelaksanaan hubungan dan kerja sama di bidang SAR balk di dalam maupun luar negeri;
  7. Evaluasi pelaksanaan pembinaan potensi SAR dan operasi SAR
  8. Pelaksanaan administrasi di lingkungan Badan SAR Nasional.

C. SASARAN PENGEMBANGAN BASARNAS
Dalam rangka mewujudkan visi dan misi Basarnas, perlu dilaksanakan strategi- strategi sebagai berikut :
  1. Menjadikan BASARNAS sebagai yang terdepan dalam melaksanakan operasi SAR dalam musibah pelayaran dan penerbangan, bencana dan musibah lainnya;
  2. Pembentukan Institusi yang dapat menangani pendidikan awal dan pendidikan penataran di lingkungan BASARNAS
  3. Mengembangkan regulasi yang mampu mengerahkan potensi SAR melalui mekanisme koordinasi yang dipatuhi oleh semua potensi SAR;
  4. Melaksanakan pembinaan SDM SAR melalui pola pembinaan SDM yang terarah dan berlanjut agar dapat dibentuk tenaga-tenaga SAR yang profesional.
  5. Melaksanakan pemenuhan sarana/ prasarana dan peralatan SAR secara bertahap agar dapat menjadikan operasi tindak awal SAR yang mandiri, cepat, tepat, dan handal sesuai ketentuan nasional dan internasional.
  6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan SAR melalui jenjang pendidikan sesuai dengan kebutuhan dalam lingkungan BASARNAS.
  7. Penciptaan system sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyelenggaraan operasi SAR
  8. Mengembangkan kerjasama dengan Pemda melalui FKSD, organisasi dan instansi berpotensi SAR, balk dalam negeri maupun luar negeri dalam rangka pembinaan potensi SAR.
 
 

( Sumber : Website basarnas versi 1, www.basarnas.go.id )



( Sumber : Website basarnas versi 1, www.basarnas.go.id )

Rabu, 08 Agustus 2012

kamu adalah hantu,atau apalah orang menyebutnya
kamu tak pernah hilang
aku benci sok melankolis
tapi ..

kau benar benar tak bisa hilang
semoga mati muda cepat menjelang,
a

Sabtu, 21 April 2012


Kita,organisasi dan Propinsi Riau
(Penulis adalah Kadis Penelitian Pengenbangan di HIMIP Fisip UR0

Beberapa hari yang lalu propinsi Riau nan elok diwarnai beragam gelombang kegetiran,mulai dari persoalan masalah sengketa agraria yang meletus di berbagai kabupaten ,yang termasuk demonstration efect kasus di propinsi sebelah,berlanjut kepada kasus pemilukada,dan disertai pula dengan persoalan kasus PON 2012 yang September ini berlanjut.beberapa jalanan juga disirami keringat oleh demonstran berkaitan dengan isu kenaikan BBM.tak tanggung tanggung di kalangan Mahasiswa sendiri terdapat pro dan kontra soal bagaimana cara yang tepat untuk menyikapi persoalan dan kegetiran di atas.

Kita,dalam hal ini saya ingin paparkan status saya dan kawan kawan yang masih berstatus mahasiswa.Kita aktif memenuhi ranah ranah intelektual di kelas kelas,bersama buku buku tercinta,persoalan IPK,bercengkrama dengan bapak dan ibu dosen ,berdiskusi serta Kita yang menyandang arti penting Mahasiswa,dan juga Kita yang berada di jajaran kalangan ‘elit ‘ yang memikul Tridarma Perguruan Tinggi.

Tak usah jauh jauh Kita bercermin dengan euforia pendahulu diera Reformasi,era angkatan 66 dan sebagainya.sekarang saya ingin mengajak bagaimana cara kita memandang tridarma perguruan tinggi yang kita dapati “tanpa syarat’setelah berstatus mahasiswa.
Dari awal kami paparkan persoalan

Rabu, 18 April 2012

Perkembangan sistem pemerintahan daerah dari masa ke masa

LATAR BELAKANG

Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah Provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah Kabupaten dan daerah Kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Kita semua mengetahui bahwa realitas yang terjadi pada saat ini dipengaruhi oleh bagaimana cara pandang kita melihat sejarah perkembangan dalam sistem pemerintahan daerah itu sendiri.Karena pada saat ini,yag mana kita menganut sistem desentralisasi ,diperlukan pengetahuan yang cukup untuk membedakan,bagian mana yang termasuk urusan Politik lokal dan urusan Politik Pusat.

Maka dari itu dalam resume ini saya akan paparkan bagaimana perkembangan sistem pemerintahan Daerah dalam beberapa jaman dan rejim yang berkembang didalamnya

PEMBAHASAN

A. MASA PENJAJAHAN

Zaman penjajahan Belanda

Pemerintah Belanda menerapkan sistem Desentralisasi dalam hirarki kekuasaannya.Hal ini mereka perbuat demi mencapai tatanan pemerintahan yang efisien ,yang mana dahulunya di Indonesia pusat pemerintahan berada di daerah Batavia .Walaupun dibalik semua itu,ada pandangan bahwa Politik desentralisasi -- Decentralisatiewet 1903 dan Wet op de Bestuurshervorming (Stb 1922/216) -- hanya sekedar meredakan tuntutan, baik internasional maupun nasional, sebab penyerahan urusan hanya mencakup hal--hal yang tidak penting dan otonomi sangat sempit. (Harsono, 1992 : 59-60).Yang mana dapat kita perhatikan ,dalam penerapannya masih ada ketimpangan,dimana pembuatan keputusan masih dikontrol oleh pusat dan sangat ketat dibawah pengawasan seorang Gubernur Jendral.Dewan daerah tidak diberi kekuasaan untuk menentukan pimpinan daerah setempat. Misalnya sebagaimana diterangkan oleh Harsono, Provinciale Raad (Dewan Propinsi) diketuai Gubernur, dan hanya berhak menentukan Badan Pemerintah Harian (College van Gedeputeerden) bila dipandang perlu. Walaupun tugas lembaga Provinciale Raad dan Gubernur dipisahkan, tetapi kedua lembaga ini melakanakan tugas pembantuan. Gubernur sebagai aparat daerah melaksanakan tugas rumah tangga daerah dalam porsi yang relatif kecil (1992 : 60-61).

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda tentang pemrintah lokal tersebut tidak lepas dari tujuan utama penjajahan itu sendiri, yakni menguasai wilayah jajahan dengan maksud menguras segala sumber daya yang ada. Oleh sebab itu berbagai kebijakan yang dibuat tidak lebih hanya sekedar instrumen kekuasaan pemerintahan penjajah Belanda. Demikian pun politik desentralisasi yang dilanbsir tahun 1903, ketika Pemerintah Belanda mengumumkan undang-undang Desentralisasi (Desentralisatie Wet). Tujuan di tetapkannya Undang-Undang Desentralisatie Wet tersebut tidak lepas dari tujuan utama penjajahan itu sendiri, yakni menguasai wilayah jajahan dengan maksud menguras segala sumber daya yang ada. Oleh sebab itu politik desentralisasi tidak lebih hanya sekedar instrumen untuk menciptakan efisiensi administrasi pemerintahan penjajah Belanda. Upaya mengembangkan otonomi daerah, dibarengi dengan berbagai kebijakan yang bertujuan memanipulasi perilaku kepeminpinan lokal sehingga menjadi instrumen kekuasaan yang sangat efektif dalam poemerintahan yang eksploitatif. Hal itu nampak pada kebijakan trerhadap para bupati. Dengan demikian pemerintah Hindia Belanda telah menempatkan para pemimpin lokal sebagai pemeras bagi rakyatnya. Dan ini merupakan warisan yang sangat merugikan bagi pemerintahan daerah di Indonesia. Ringkasnya dapat dikatakan bahwa politik desentralisasi yang dijalankan di Hindia Belanda lebnih bersifat dekonsentrasi. Hal itu disesuaikan dengan maksud untuk mempertahankan kekuasaan Belanda di Indonesia.

Zaman Penjajahan Inggris

Dalam pimpinan Tomas Stanfor Raffles,terdapat nilai kebaikan dibandingkan pihak Belanda yang otoriter,yang mana kekuasaan Raffles cenderung juga melihat kondisi dan perspektif masyarakat.Hal ini bisa kami lihat dari proses kekuasaannya yang membatasi kekuasaan Tuan tanah atau yang disebut kaum Feodal.dan masyarakat dipimpin oleh keresidenan,yang lebih paham dan mengerti persoalan masyarakat. Maksud itu diwujudkan dengan pembentukan pemerintahan Karesidenan yang diberi kekuasaan pemerintahan, peradilan dan penerimaan penghasilan negara. Dengan demikian rakyat berhubungan langsung dengan pemerintah karesidenan, dan menjauhkan hubungan langsung dengan para Bupati.

Maka dari itu bisa kita cermati bahwa kekuasaan rafles memandang penting arti dari Bupati,walaupun beberapa kebijakan dibidang pelayanan masih bersifat sentralistis..

Jaman Pendudukan Jepang

Kebijakan Pemerintahan Daerah. Pada waktu bala tentara Jepang berkuasa, Pemerintah Jajahan Jepang melaksanakan pemerintahan militer di wilayah Hindia Belanda berdasar UU No. 1 tahun 1942. Pemeritahan daerah diatur dengan Osamuserei No. 27 tahun 1942 , yang menetapkan penghapusan dewan dewan daerah.

Dengan penghapusan dewan-dewan daerah ini, terbentuklah sistem pemerintahan tunggal di daerah-daerah otonom. Kepala-kepala daerah Syuutyookan mempunyai kekuasaan yang sangat besar untuk melaksanakan tugas-tugas militer sehari-hari di bawah komando Gunseikan. Mereka mengatur segala urusan daerah meliputi pemerintahan, kemiliteran, kepolisian, dan sebagainya (Harsono, 1992 : 70). Singkatnya fungsi pemerintahan hanya sebatas regulasi, dan berbagai kebijakan, kelembagaan dan kepemimpinan pemerintahan bersifat militeristik dan otoriter yang jauh dari nilai-nilai demokratis.

B. MASA AWAL KEMERDEKAAN (DEMOKRASI LIBERAL)

Berdasarkan pasal 18 UUD 1945. Menurut UUD 1945 Negara Indonesia merupakan “eenheidsstaat” (negara kesatuan), sehingga tidak akan mempunyai daerah yang bersifat “staat” juga. Menurut pasal 18 UUD 1945 wilayah Indonesia dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat “autonoom” (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang.

Berdasar undang-undang ini pembentukan daerah disusun secara hierarkhis, dari atas masing-masing provinsi, karesidenan dan kabupaten/kota (Harsono, 1992 : 85). UU ini tidak mengatur karesidenan dan daerah istimewa. Pemerintah Karesidenan baru diatur dua tahun kemudian dengan PP No. 8 Tahun 1947. Pemerintah daerah terdiri atas BPRD dan Badan Eksekutif, keduanya dipimpin oleh Kepala Daerah. Wewenang BPRD meliputi mengatur kepentingan daerah (otonomi), melaksanakan peraturan perintah atasan (medebewind) dan mengatur suatu hal -- dengan pengesahan pemerintah atasan -- sesuai ketentuan perundangan umum. Sementara kepala daerah mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai perangkat daerah sekaligus perangkat pemerintah pusat.

Daerah-daerah yang dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu daerah otonom (biasa) dan daerah Istimewa. Daerah dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu Propinsi, Kabupaten/Kota Besar dan Desa/Kota Kecil. Masing-masing daerah diberi kekuasaan mengelola sumber-sumber keuangannya sendiri.

Pemerintah daerah terdiri atas DPRD dan DPD, yang masing-masing mempunyai ketua. Ketua DPRD dipilih oleh dan dari para anggota DPRD sedangkan ketua DPD adalah Kepala daerah. Jadi kini KDH tidak merangkap kedua jabatan itu seperti ditentukan dalam UU No. 1 /1945. Selain itu Kepala Daerah dan DPD, baik bersama-sama atau masing-masing bertanggung jawab kepada DPRD, dan wajib memberi keterangan-keterangan yag diminta DPRD. Kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, Kepala Daerah Provinsi oleh Presiden, Kepala Daerah Kabupaten/Kota oleh Menagri, Kepala Daerah Desa oleh Kepala Daerah Provinsi. Kepala Daerah sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai fungsi mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD dan sebagai Ketua dan anggota DPD yang merupakan organ Pemerintah Daerah.

Dengan ketentuan adanya badan legislatif daerah itu, daerah otonom dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti daerah tersebut mempunyai kekuasaan politik. Namun demikian dapat dikatakan desentralisasi yang dianut lebih bermakna dekonsentrasi dari pada devolusi. Terutama bila dilihat dari kedudukan kepala badan legislatif yag dirangkap oleh kepala daerah. Sementara kepala daerah mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai perangkat daerah sekaligus perangkat pemerintah pusat. Dualisme fungsi kepala daerah berarti pula bobot pelaksanaan fungsi lebih kepada sebagai perangkat pemerintah pusat. Perwujudannya adalah pertanggung jawaban kepala lebih kepada pemerintah pusat dari pada kepada DPRD. Susunan daerah yang bersifat hierarkhis mempunyai implikasi terhadap pengawasan yang kuat terhadap berbagai tingkat daerah. Dengan demikian dalam berbagai kebijakan pemerintahan daerah nuansa sentraliasi masih sangat terasa.

Jika dilihat dari segi pelaksanaan fungsi pemerintahan daerah, sebenarnya belum ada batasan yang tegas antara pelaksanaan otonomi dengan medebewind, sehingga daerah mengatur urusan-urusan mengenai keamanan dan ketertiban. Disamping tugas mengatur (otonomi) daerah-daerah juga mengurus hal-hal yang hubungan dengan perjuangan kemerdekaan beserta akibat-akibatnya, seperti mengadakan Fonds Kemerdekaan, menyelenggarakan pemindahan pengungsi dsb (The Liang Gie, 1993: 54-55). Keadaan demikian memang tidak terlepas dari suasana politik dalam negeri Indonesia masa itu, sehingga fungsi pemerintahan daerah dilaksanakan berkaitan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan dalam rangka “nation building”. Ditambah dengan permasalahan yang kompleks yang menuntut pengaturan yang sangat banyak, tidak mungkin merombak secara total berbagai peraturan yang telah ada sebelumnya. Dengan pemahaman demikian kebijakan desentralisasi masih belum bergeser terlalu jauh dari pelaksanaan desentralisasi pemerintahan Hindia Belanda, yakni penekanan pada desentralisasi administrasi bukan desentralisasi politik. Sehingga pada masa demokrasi liberal ini, dalam pelaksanaan pemerintahan pemerinrahan realitas pengaturan formal itu sangat terasa lebih sentralistis daripada desentralistis.

C. MASA DIKTATORIAL

Berdasar peraturan ini terdapat dualisme kedudukan Kepala Daerah, yakni sebagai alat pemerintah pusat sekaligus sebagai alat pemerintah daerah. Kecuali itu Kepala Daerah mempuyai kedudukan sentral yang sangat kuat (dalam The Liang Gie, 1994 : 215). Karena ia sekaligus memimpin DPRD sehingga ia tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan kepada Presiden. Kepala daerah dan DPRD lebih berperan sebagai perangkat pemerintah pusat. Konsekuensinya adalah lembaga pemerintah dan kepemimpinan daerah berorientasi pada efektifitas pengaturan pusat. Dengan demikian UU ini tidak menganut prinsip pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Desentralisasi yang dilaksanakan lebih berbobot pada dekonsentrasi. Akibat selanjutnya adalah bahwa kemandirian daerah belum dapat terbina secara baik.

Pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1959 ini desentralisasi politik dirasakan masih sangat riskan, karena di berbagai daerah di Indonesia berkembang kecenderungan pembangkangan terhadap pusat terutama akibat ketidak puasan atas distribusi sumber daya yang tidak seimbang. Kecenderungan itu mengambil momentum ketika diberlakukan demokrasi parlementer yang sangat liberalistik. Dekrit presiden 5 Juli 1959 merupakan upaya untuk menjawab keadaan tersebut.

Fungsi pemerintahan daerah adalah untuk turut menciptakan pemerintahan yang stabil; pengawasan jalannya pemerintahan di daerah secara efektif dan efisien; memelihara kepentingan, keamanan dan ketertiban umum serta memajukan kesejahteraan rakyat. Selain itu untuk membentuk pemerintahan yang mencerminkan kehendak rakyat berdasar prinsip kemandirian politik, ekonomi dan kebudayaan.

Adanya sistem pengawasan dan pengendalian ketat, yang ditandai dengan susunan daerah yang bertingkat dan fungsi kepada daerah sebagai alat pemerintah pusat mengambarkan tidak adanya pembagian kekuasaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa politik desentalisasi masih sangat bersifat dekonsentratif.

D. MASA TRANSISI (TAHUN 1999 - Sekarang)

Hubungan Kekuasaan Antar Pemerintah Daerah. Propinsi sebagai Daerah Otonom sekaligus daerah administratif. Konsekuensinya Propinsi melaksanakan kewenangan pemerintah yang didelegasikan pada Gubernur dan propinsi bukan merupakan pemerintah atasan Daerah Kabupaten dan Kota, artinya tidak ada hubungan hirarki. Dalam praktek terdapat hubungan koordinasi, kerjasama dan/atau kemitraan dengan Daerah Kabupaten/Kota masing-masing sebagai daerah otonom. Sebagai wilayah administratif, Gubernur selaku wakil pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi, pengawasan represif dan preventif serta tugas-tugas pembinaan kepada pemerintah Propinsi perlu dilimpahkan wewenang tertentu, diantaranya wewenang pengambilan keputusan. Sehingga masalah-masalah dapat diselesaikan dengan cepat oleh Gubernur.

Penyerahan urusan menggunakan sistem residu, dengan asumsi sebanyak mungkin urusan diserahkan pada daerah Kabupaten/Kota. Kewenangan yang tidak dapat dilaksanakan Kabupaten/Kota ditangani pemerintah Propinsi. Bila propinsi juga tidak mampu urusan itu ditangani pemerintah Pusat.

Menurut Undang-Undang ini Pemerintah Daerah berfungsi mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut parakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pemisahan DPRD dengan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggung-jawaban Pemerintah Daerah pada rakyat.

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari paparan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa ,dalam perkembangannya sistem pemerintahan daerah di Indonesia bergantung pada masa kolonial oleh Belanda,yang mengekang sekali proses kebijakan dan sangat sentralistis

Kemudian lain halnya ketika pemerintahan Rafless berkuasa dengan menghapuskan bahkan mengurangi proses feodalistis di negara ini.Kemudian Indonesia juga mengenyam betapa pahitnya ketika jaman Jepang yang tak berbeda bahkan lebih buruk,yang mana pemerntah Jepang memperketat dan mempersempit proses pemerintahan daerah.

Dan ketika Masa Awal kemerdekaan,masa demokrasi liberal dalam pasal pasal terdapat perbenturan dan tafsir yang berbeda soal pemerintahan Daerah ini.Hingga akhirnya pada masa transisi dikeluarkannya dan dikembangkannya ide desentralisasi menyebabkan beragam spekulasi sebagai dampak kebijakan yang sudah dipecah dan diberika tangggung jawab kepada pemerintahan daerah

Dalam pola ini dapat kita lihat bahwa setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah. Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati dan untuk kota adalah walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. Kepala dan wakil kepala daerah memiliki tugas, wewenang dan kewajiban serta larangan. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.

Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi yang bersangkutan, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota.Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana dimaksud, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden

Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor kemampuan keuangan; kebutuhan daerah; cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas; luas wilayah kerja dan kondisi geografis; jumlah dan kepadatan penduduk; potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani; sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.

Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan. Susunan organisasi perangkat daerah ditetapkan dalam Perda dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu dan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Kepala dinas daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah. Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah. Kepala badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah tersebut bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah.

Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kecamatan dipimpin oleh camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota.

2. Saran

Kita perlu mengkaji lebih dalam bagaimana efektifitas dan mekanisme sistem desentralisasi yang kini terus mengalami dinamika di berbagai bagian Indonesia.

Selasa, 10 April 2012

EKSISTENSI MAHASISWA

LATAR
Kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa golongan terpelajar muda menjadi pendorong perubahan sejarah atas bangsa Indonesia. Sedikitnya ada lima momentum sejarah yang amat penting bagi bangsa ini:

  1. Sumpah Pemuda pada tahun 1928, organisasi kepemudaan di seluruh nusantara menyatakan satu tekad bertumpah darah satu, tanah air indonesia, berbangsa satu bangsa indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia
  2. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 tak luput dari peran besar ‘golongan muda’ yang mendesak ‘golongan tua’ untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
  3. Tumbangnya orde lama pada tahun 1966 oleh mahasiswa yang mengajukan tiga tuntutan rakyat: Bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, Perombakan kabinet DWIKORA, Turunkan harga dan perbaiki sandang-pangan
  4. Peristiwa Malari 1974 (malapetaka 15 Januari) di Jakarta yang berdemonstrasi antimodal asing, momentum ini bertepatan dengan kedatangan ketua IGGI dan puncaknya kedatangan PM Tanaka dari Jepang
  5. Tumbangnya orde lama pada tahun 1998 yang puncaknya terjadi pada 21 Mei 1998 di mana presiden Soeharto yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun mengakhiri masa kepemimpinannya di tangan mahasiswa.

FUNGSI DAN PERAN MAHASISWA
Fungsi yang diemban oleh mahasiswa tidaklah ringan, sebagai golongan terdidik, jelas mahasiswa berbeda dari rakyat. Mereka memiliki masa pendidikan akademis yang paling lama di antara rakyat kebanyakan. Itu artinya, mahasiswa seharusnya memiliki pergaulan dan wawasan yang luas dalam menyikapi

Ada 4 fungsi yang seharusnya dimengerti oleh mahasiswa sebagai calon pemimpin generasi penerus bangsa;

  1. sebagai pionir atau perintis yang memiliki visi dan menunjukkan jalan,
  2. sebagai penyelaras yang mampu menyinergiskan berbagai sumber daya,
  3. sebagai pemberdaya yang mampu mengembangkan potensi sekelilingnya,
  4. sebagai panutan atau teladan yang menjadi contoh sekelilingnya.

Setidaknya ada tiga peran utama mahasiswa mengacu pada tri dharma perguruan tinggi;

  1. penjaga nilai berlandaskan kebenaran-kebenaran ilmiah selaras dengan ilmu dan pendidikan yang terus ditempa dan diterima di dunia akademis
  2. agen perubahan ke arah yang lebih baik bagi masyarakatnya melalui riset/penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran ilmiahnya
  3. problem solver atas masalah-masalah sosial yang ada di sekelilingnya

LANTAS BAGAIMANA:
1. MEMBANGUN KARAKTER MAHASISWA YG DIIDEALKAN?
Dari berbagai literatur (blog indonesia dan luar negeri) dan pengalaman yang dijumpai, setidaknya ada 5 golongan besar mahasiswa;

  1. Pemikir, mahasiswa yang sangat serius memikirkan karir akademisnya dengan target-target tinggi yang biasanya tak dapat ditoleransi meski sepele. Mahasiswa yang aktif kuliah dan tidak akan membolos tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Tak akan berkegiatan selain yang terkait dengan karir akademis.
  2. Pekerja, mahasiswa yang mungkin karena tuntutan perekonomian yang lemah menjadikannya serius menyambi bekerja mencari penghidupan yang layak, atau memang dari dasar lubuk terdalam ingin menekuni dunia usaha sejak kuliah da tentunya dilandasi prinsip yang kuat untuk sebuah kemandirian.
  3. Aktifis organisatoris, tipe mahasiswa yang giat berorganisasi dengan berbagai latar idealisme dan ideologinya, menghabiskan waktu demi waktunya lebih banyak di kampus dari pada di rumah atau kos-kosan. Bisa jadi, tipe inilah yang paling paham seluk beluk dunia akademis dan segala birokrasinya.
  4. Biasa/Standar, tipe mahasiswa yang kehidupan kampusnya datar-datar saja. Belajar sesuai kadar kemampuan. Berangkat ke kampus dan kembali ke kos/rumah sesuai dengan ritme harian. Menikmati percintaan kampus tanpa nuansa heroik seperti halnya percintaan para aktifis yang kadang hingga berdarah-darah.
  5. Pemalas, tipe mahasiswa yang ‘entah’ setiap jaman selalu ada untuk memberi warna berbeda yang mungkin sebagai ‘bahan pelajaran’ bagi empat tipe lainnya. Pemalas yang dimaksud memang benar-benar dalam makna definitif bukan konotatif. Datang sebagai mahasiswa dengan status cukup ‘terdaftar’ dan mungkin ‘tak terproses’ dan mungkin ‘tak lulus’. Datang pada awal kuliah, di tengah-tengahnya titip absen dan di akhir semester barulah masuk kembali untuk ikut ujian, itu jika tak ketiduran. :D

Lantas, manakah tipe mahasiswa yang Ideal? Mahasiswa ideal adalah kombinasi dari tiga tipe teratas, Pemikir, Pekerja, dan Aktifis. Kombinasi tiga tipe itu jelas adalah perpaduan yang hanya bisa lahir dari seorang mahasiswa jenius. Paling tidak, jika menjadi tipe Pemikir, maka jadilah mahasiswa Pemikir yang memiliki idealisme, jika jadi mahasiswa Pekerja, maka jadilah mahasiswa Pekerja yang Idealis, dan apabila menjadi mahasiswa aktifis, jadilah mahasiswa aktifis yang benar-benar idealis. Ujung dari sebuah idealisme adalah kebenaran dan kebermanfaatan bagi masyarakatnya (mengacu pada butir ketiga Tri Dharma Perguruan Tinggi).

HANYA DENGAN IDEALISME DAN MEMPERJUANGKANNYA,
MAKA MAHASISWA BERHAK ATAS STATUSNYA.

Bagaimana membangun karakter mahasiswa yang ideal?

  • Mencari, menemukan, memiliki, dan menjaga ‘idealisme’ yang fundamental dalam hidupnya sampai kapan pun dan tidak pupus oleh waktu meski berubah ‘bentuk’ perjuangan dan strategi menyesuaikan keadaan dan lingkungannya. Sebuah ‘idealisme’ yang berpegang pada ‘kebenaran’ dan ‘keberpihakan’ pada yang lemah. Proses menemukan dan kemudian menjaga idealisme tak lepas dari upaya diri berproses selama puluhan tahun dengan berbagai tempaan pengalaman dan latar sosial pribadi masing-masing mahasiswa. Idealisme dapat ditemukan ketika seseorang telah mampu mengenali dirinya sendiri. Konsisten penuh ketabahan dan kesabaran dalam memperjuangkan ‘idealisme’-nya. Seringkali konsistensi teruji, ia bisa naik dan turun kapan pun tapi jangan pernah kehilangan ‘ruh idealisme’ yang fundamental
  • Disiplin tinggi, karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant. Diperlukan refleksi yang dalam untuk membuat rangkaian moral choice (keputusan moral) dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. (Helen Keller)
  • Membenturkan idealisme yang dimiliki dengan idealisme lain untuk menguji kebenaran sekaligus mencari titik temu agar tak menghasilkan manusia yang ter-alienasi dari peradabannya.
  • Mencari kawan se-ide dan seperjuangan untuk saling berbagi dan saling menguatkan sebagai bentuk refleksi atas aksi-aksi yang telah dilakukan sekaligus merumuskan kembali langkah perjuangan ke depan.

MAHASISWA BERKARAKTER ADALAH MAHASISWA YANG TERPUJI,
SETIA PADA NILAI-NILAI KEBAIKAN DAN KEBENARAN

KARAKTER TAK BISA DIBANGUN DENGAN SANTAI DAN DIAM-DIAM.
HANYA MELALUI COBAAN DAN PENDERITAANLAH JIWA BISA DIPERKUAT,
VISI DIPERJELAS, AMBISI DIBANGKITKAN DAN KESUKSESAN DIRAIH. (Hellen Keller)

2. MENCARI, MENEMUKAN, MENGELOLA DAN MENYELESAIKAN “ISSUES” (ISU SENTRAL, ISU LOKAL)
Mahasiswa yang sudah ‘ikhlas’ menyatakan dalam dirinya untuk menjadi aktifis kampus pasti memiliki alasannya masing-masing untuk mengorbankan banyak hal dari dirinya demi aktifitas yang disandangnya di kampus. Dan, sebagai aktifis kampus, tentunya memiliki agenda-agenda perjuangan yang harus dilaksanakan, baik itu agenda rutin maupun agenda tak rutin terkait dengan isu-isu yang berkembang. Entah itu isu sentral terkait permasalahan bangsa atau isu lokal terkait persoalan-persoalan masyarakat di daerah sekitar kampus.

Apabila dikaitkan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka pada dasarnya, agenda rutin organisasi internal kampus sebagian besar tersita untuk ‘pendidikan’ dan ‘riset’, entah itu berbentuk pelatihan, workshop, seminar, dan lain-lain. Sementara, dharma ketiga yaitu ‘pengabdian’ seringkali menjadi agenda yang sepi peminat dan cenderung terabaikan. Jika tidak, terkesan reaksioner seperti halnya ketika menghadapi bencana. Sering pula dijumpai kegiatan ‘pengabdian’ terlihat seremonial kering makna dan temporal, jika pun berdampak luas bagi rakyat banyak, harus tersungkur di bawah kolong meja birokrat untuk menjadi arsip usang yang tak perlu ditindaklanjuti.

  • Membangun kepekaan dan kepedulian terhadap sekelilingnya (sense of crisis and awareness). Jangan pernah berharap menjadi mahasiswa ideal jika tak peka dan peduli terhadap sekelilingnya. Sebagai mahasiswa bagian dari masyarakatnya, tentunya seorang aktifis memiliki ‘keresahan’ akan banyaknya ‘tanda tanya’ yang tak terjawab. Baik itu berasal dari lingkungan terdekatnya (kampus) maupun lingkungan jauhnya (rakyat Indonesia pada umumnya). Tanda tanya yang memenuhi kepala dan tak terjawab dengan tuntas -minimal terjawab sebagian- akan menghasilkan keresahan-keresahan yang membutuhkan penyelesaian. Berangkat dari tanda tanya itulah sebuah isu dapat dijadikan agenda perjuangan.
  • Mengembangkan jiwa kepemimpinan dan kemampuan manajerial. Siapapun pencetus isu pertama yang kemudian disepakati bersama menjadi agenda perjuangan, maka isu tersebut telah menjadi tanggung jawab bersama. Dibutuhkan keberanian untuk menjadi pionir yang memiliki visi untuk merangkul seluruh pihak terkait yang akan dilibatkan dengan memberdayakan seluruh potensi yang ada. Langkah strattegi dan skala prioritas adalah bagian dari kepemimpinan dan kemampuan manajerial.
  • Mentransformasikan ide dan gagasan yang telah dan akan dilakukan sebagai bentuk refleksi atas aksi dan juga sebagai bentuk kaderisasi bagi keberlanjutan isu yang telah dijadikan agenda perjuangan

__________

Berbagi (sharing) terkait dengan dunia kemahasiswaan bagian penting dari ‘recycle‘ ide-ide lama yang numpuk di gudang pikiran dan berharap dapat ditransformasikan untuk kebermanfaatan hidup. Mudah-mudahan mahasiswa selalu bisa diharapkan menjadi tumpuan harapan masyarakatnya manakala dilanda resah dan gelisah. Mampu menjadi agen-agen perubahan yang solutif bagi persoalan masyarakatnya. Amin.